Letusan gunung berapi adalah peristiwa yang dramatis dan berantakan. Dan lebih buruk lagi, mereka seringkali tidak dapat diprediksi. Terlepas dari upaya terbaik umat manusia untuk memahaminya, gunung berapi terus menjadi ancaman besar — yang kebanyakan orang tidak cukup siap. Inti es bersejarah memberi tahu kita bahwa ledakan terbesar masih akan datang. Selama bertahun-tahun, para ilmuwan telah merancang perangkat lunak, simulasi komputer, dan bahkan instrumen khusus untuk memantau dan memprediksi kapan makhluk tidur ini akan bangun. Peneliti dari Johannes Gutenberg University Mainz telah menemukan teknik lain: drone.
Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan pada akhir Oktober di Laporan Ilmiah, sebuah tim ilmuwan menunjukkan bahwa drone kecil dapat digunakan untuk mengkarakterisasi kimia dari gumpalan vulkanik. Properti seperti rasio karbon dioksida dengan sulfur dioksida dapat memberi petunjuk tentang reaksi apa yang terjadi di bawah permukaan, dan apakah letusan akan segera terjadi. Rasio ini terkadang berubah dengan cepat sebelum gunung berapi meletus.
Drone besar dan tugas berat seringkali merepotkan untuk diangkut di dalam dan sekitar medan di sekitar gunung berapi. Dan membuat manusia melakukan perjalanan dengan perlengkapan dan pakaian khusus juga bukanlah perjalanan yang mudah atau cepat. Menggunakan drone yang bisa masuk ke dalam ransel bisa menyederhanakan prosesnya. Drone yang digunakan dalam percobaan adalah model komersial seberat 2 pon yang disebut DJI Mavic 3.
Tentu saja, alat terbang itu harus menjalani beberapa modifikasi sebelum siap digunakan untuk gunung berapi. Itu dilengkapi dengan sistem sensor yang dikoordinasikan oleh mikrokontroler 4 MB yang menjembatani komunikasi antara sensor sulfur dioksida elektrokimia, sensor karbon dioksida berbasis cahaya, ditambah instrumen lain untuk mengukur suhu, kelembaban dan tekanan, dan modul GPS.
Drone ini menawarkan tingkat pengambilan sampel frekuensi yang relatif tinggi: 0,5 Hz. Dan baterainya memungkinkan untuk berjalan selama 1,5 jam. Tim menguji sistem di pulau Vulcano, Italia pada April 2022 dan menerbangkannya ke lapangan fumarol, tempat gas dan uap vulkanik keluar dari bukaan di tanah. Selama uji terbangnya, ia dapat dengan cepat dan akurat mengukur emisi gas dari lapangan fumarol untuk memantau aktivitas gunung berapi.
[Related: Whale-monitoring robots are oceanic eavesdroppers with a mission]
Drone semakin banyak digunakan sebagai mata di langit di atas lokasi berbahaya; mereka telah terbukti menjadi solusi praktis untuk memantau perkembangan fenomena dan bencana secara real-time seperti kabut, kebakaran hutan, dan angin topan. Mereka juga telah digunakan untuk memantau kejadian sehari-hari di alam seperti aktivitas hiu dan perubahan sumber air.
Drone off-the-shelf telah menjadi alat yang sangat berharga bagi para ilmuwan yang berharap untuk mengumpulkan data di tempat-tempat yang sulit diakses seperti wilayah kutub dan lokasi terpencil di mana satwa liar berkumpul. Tetapi proses sertifikasi untuk menggunakan drone melalui FAA kadang-kadang menjadi kendala bagi alat ini menjadi lebih umum di antara lebih banyak peneliti.
Kelompok dari Johannes Gutenberg University Mainz bukanlah yang pertama menggunakan drone untuk mempelajari gunung berapi. Misalnya, tim peneliti internasional menggunakan alat terbang untuk mempelajari integritas struktural kubah vulkanik, dan NASA telah menggunakan drone mirip pesawat terbang kecil untuk menangkap gambar cahaya tampak dan termal dari area vulkanik dari atas.
Mudah-mudahan, jika sains yang dilakukan melalui drone menjadi halus dan cukup kuat, itu bisa membantu para peneliti benar-benar memprediksi letusan jauh sebelum terjadi.